KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Manado, Rabu 04 Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Santan............................................................................................................................. 3
2.2
Emulsi............................................................................................................................. 4
2.3 Stabilitas Emulsi............................................................................................................. 7
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan..................................................................................................................... 10
3.2 Saran................................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Santan
kelapa merupakan cairan putih kental hasil ekstraksi dari kelapa yang dihasilkan dari kelapa yang diparut dan
kemudian diperas bersama air. Santan mempunyai rasa lemak dan digunakan sebagai
perasa yang menyedapkan masakan menjadi gurih. Dahulu, untuk memperoleh santan
dilakukan dengan cara diperas dengan tangan dari kelapa yang diparut dan
menambahkan air panas sehingga santan yang dihasilkan lebih baik. Akan tetapi,
saat ini sudah terdapat mesin pemeras santan yang dalam penggunaannya kelapa
yang diparut tidak perlu dicampurkan dengan air dan pati santan yang dihasilkan
murni 100%. Saat ini juga banyak dijual santan instan atau siap saji dengan
cara pemakaiannya hanya menambahkan air lalu dimasak. Penggunaan santan di
Indonesia sangat luas, diantaranya digunakan dalam pembuatan makanan seperti
rendang, opor, dodol, agar-agar, dan lain sebagainya.
Santan
merupakan bentuk emulsi minyak dalam air dengan protein sebagai stabilisator
emulsi. Air sebagai pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi. Di dalam
sistem emulsi minyak air, protein membungkus butir-butir minyak dengan suatu
lapisan tipis sehingga butir-butir tersebut tidak dapat bergabung menjadi satu
fase kontinyu. Butir-butir minyak dapat bergabung menjadi satu fase kontinyu
jika sistem emulsi di pecah dengan jalan merusak protein sebagai pembungkus
butir-butir minyak. Dalam industri makanan, peran santan sangat penting baik
sebagai sumber gizi, penambahan aroma, cita rasa , flavour dan perbaikan
tekstur bahan pangan hasil olahan. Hal ini disebabkan karena santan mengandung senyawa nonylmethylketon, dengan
suhu yang tinggi akan menyebabkan bersifat volatil dan menimbulkan bau yang
enak.
Pemanfaatan
santan dalam produksi makanan olahan sering menghadapi permasalahan yaitu
terjadi pemecahan santan ketika dipanaskan. Pecahnya santan dapat dilihat dari
terbentuknya gumpalan-gumpalan putih di permukaan, rasa gurih dari santan
berkurang menyebabkan cita rasa produk olahan berubah dan penampilannya menjadi
kurang menarik. Hal ini bisa dicegah dengan melakukan pengadukan selama santan
tersebut dipanaskan dan penggunaan api kecil selama pemasakan santan. Namun,
warga Sumatera Barat memiliki keunikan yaitu
memasukkan piring porselen ke dalam wajan atau panci untuk menghindari
santan pecah meskipun tanpa pengadukan. Oleh karena itu, kelompok kami tertarik
untuk membuktikan kebenaran dari kearifan lokal tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu pengertian dari santan ?
2. Apa
itu pengertian dari emulsi ?
3. Bagaimana
stabilitas emulsi ?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dari santan.
2. Mengetahui
pengertian dari emulsi.
3. Mengetahui
dan memahami stabilitas emulsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Santan
Kelapa (Cocos
nucifera) merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah
kelapa dapat dibuat menjadi berbagai macam olahan pangan, salah satunya adalah
santan kelapa.
Kingdom: Plantae
Klas: Dicotyledonae
Ordo: Arecales
Famili: Araceae
Genus: Cocos
Spesies: Cocos nucifera L
Santan adalah emulsi minyak dalam air yang berwarna putih susu
yang diperoleh dengan cara pemerasan parutan daging kelapa dengan atau tanpa penambahan
air. Santan kental merupakan hasil olahan santan kelapa yang telah diberi
emulsifier, sehingga emulsinya lebih stabil. Namun, santan kental mudah rusak
dan berbau tengik, karena itu perlu diupayakan produk santan kental siap pakai
yang mempunyai daya simpan cukup. Untuk memperpanjang masa simpan santan kental
diperlukan perlakuan pemanasan (Ramdhoni et all., 2009).
Pemarutan
merupakan tahap pendahuluan dalam memperoleh santan. Pemarutan bertujuan untuk
menghancurkan daging buah dan merusak jaringan yang mengandung santan sehingga
santan mudah keluar dari jaringan tersebut. Pemerasan dengan menggunakan tangan
untuk memberikan tekanan pada hasil parutan dan memaksa santan keluar dari
jaringan. Mengekstraksi santan dapat dilakukan pemerasan dengan tangan dan
selanjutnya dilakukan penyaringan. Dalam industri makanan, peran santan sangat
penting baik sebagai sumber gizi, penambahan aroma, cita rasa , flavour dan
perbaikan tekstur bahan pangan hasil olahan.
2.2
Emulsi
Emulsi dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan yang mengandung
bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa,
distabilkan dengan emulgator atau surfaktan yang cocok. (Depkes RI, 1979).
Emulsi juga merupakan suatu dispersi dimana fase terdispersi terdiri dari
bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi keseluruh pembawa yang tidak
bercampur. (Ansel, 1989) Dari kedua
sumber diatas maka emulsi dapat pula diartikan sebagai sistem dua fase dalam
(terdispersi) yang berupa batas-batas kecil terdistribusi keseluruh fase luar
(pembawa) dengan bantuan emulgator yang cocok sebagai komponen penunjang
emulsi.
Pembuatan suatu emulsi terdapat teori yang menyangkut proses
terbentuknya emulsi yang stabil. Adapun tiga teori pembentukan emulsi yaitu :
1. Teori tegangan permukaan atau Surface Tension Theory
Dalam teori ini dijelaskan bahwa untuk menurunkan tegangan
permukaan antar dua cairan yang tidak tercampur diperlukan suatu zat aktif.
Permukaan (surfaktan) atau zat pembasah (emulgator) yang mampu menahan
bersatunya tetesan kecil menjadi tetesan besar dengan jalan mengurangi daya
tolak menolak cairan-cairan tersebut dan mengurangi gaya tarik menarik antar
molekul masing-masing cairan, sehingga stabilitas emulsi tetap baik secara
fisik maupun kimia.
2.
Oriented
Wedge Theory
Menurut teori ini emulsi dapat terbentuk akibat adanya emulgator
yang melarut dalam suatu fase dan terikat dalam fase tersebut. Untuk zat
pengemulsi yang memiliki karakteristik hidrofilik yang besar daripada sifat
hidrofobiknya akan membentuk suatu emulsi minyak dalam air (M/A) dan
suatu emulsi air dalam minyak sebagai hasil penggunaan zat pengemulsi yang
lebih hidrofobik daripada hidrofilik.
3. Teori
lapisan antarmuka atau Plastic Film Theory
Teori
ini menjelaskan proses pembentukan emulsi dengan memaparkan zat pengemulsi pada
antarmuka masing-masing tetesan dari fase internal, lapisan film plastik tipis
yang mengelilingi lapisan tersebut akan mencegah terjadinya kontak atau
berkumpulnya kembali tetesan kecil itu menjadi tetesan yang lebih besar,
sehingga dengan stabilnya kondisi ini akan mampu mempertahankan stabilitas
emulsi.
Suatu
emulsi terdiri dari dua fase yang bersifat kontradiktif, tetapi dengan adanya
zat pengemulsi maka salah satu fase tersebut terdispersi dalam fase lainnya.
Pada umumnya dikenal dua tipe emulsi yaitu :
1. Tipe
A/M (Air/Minyak) atau W/O (Water/Oil)
Emulsi
ini mengandung air yang merupakan fase internalnya dan minyak merupakan fase
luarnya. Emulsi tipe A/M umumnya mengandung kadar air yang kurang dari 25% dan
mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi jenis ini dapat diencerkan atau
bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit bercampur/dicuci dengan air.
2. Tipe
M/A (Minyak/Air) atau O/W (Oil/Water)
Merupakan
suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang terdistribusi
dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang berupa air. Emulsi
tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari 31% sehingga emulsi M/A
dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan sangat mudah dicuci.
Dari
kedua emulsi diatas, emulsi tipe M/A yang paling banyak digunakan dalam
formulasi sediaan oral. Hal ini terjadi karena umumnya fase minyak memilik bau
dan rasa yang tidak enak, sehingga minyak cenderung digunakan sebagai fase
internal. Emulsi tipe A/M umumnya digunakan dalam formulasi untuk pemakaian
luar, dimana minyak dapat menjaga kelembutan dan kelembapan kulit.
Pengujian Tipe emulsi terbagi atas:
1. Cara
Pengenceran
Emulsi
dapat diencerkan hanya dengan fase luarnya, cara pengenceran ini hanya dapat
digunakan untuk sediaan emulsi cair. Jika ditambahkan air emulsi tidak pecah
maka tipe emulsi minyak dalam air. Jika pecah maka tipe emulsi air dalam
minyak.
2. Cara
Pewarnaan
Pewarna
padat yang larut dalam air dapat mewarnai emulsi minyak dalam air (M/A).
contoh: metilen-blue.
3. Cara
Flouresensi
Minyak
dapat berflouresensi dibawah cahaya lampu UV, emulsi minyak dalam air
flouresensinya berupa bintik-bintik, sedang emulsi air dalam minyak
flouresensinya sempurna.
4. Hantaran
Listrik
Emulsi
minyak dalam air dapat menghantarkan arus listrik karena adanya ion-ion dalam
air, sedangkan emulsi air dalam minyak tidak dapat menghantarkan listrik.
Dalam
proses pembuatan emulsi diperlukan suatu tenaga atau energi yang dapat
mereduksi fase intern menjadi
butir-butir kecil, energi tersebut merupakan tenaga luar yang diperoleh dari
kerja tangan ataupun mesin. Disamping energi juga diperlukan teknik pembuatan
emulsi untuk memperoleh emulsi yang stabil yaitu dengan metode pembuatan
emulsi:
1. Metode
gom basah (Anief, 2000)
Cara
ini dilakukan bila zat pengemulsi yang akan dipakai berupa cairan atau harus
dilarutkan terlebih dahulu dalam air seperti kuning telur dan
metilselulosa.Metode ini dibuat dengan terlebih dahulu dibuat mucilago yang
kental dengan sedikit air lalu ditambah minyak sedikit demi sedikit dengan
pengadukan yang kuat, kemudian ditambahkan sisa air dan minyak secara
bergantian sambil diaduk sampai volume yang diinginkan.
2. Metode
gom kering
Teknik
ini merupakan suatu metode kontinental pada pemakaian zat pengemulsi berupa gom
kering. Cara ini diawali dengan membuat korpus emulsi dengan mencampur 4 bagian
minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus sampai terbentuk suatu
korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan yang lain sedikit demi sedikit
sambil diaduk sampai terbentuknya suatu emulsi yang baik.
3. Metode
HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance)
Cara
ini dilakukan apabila emulsi yang dibuat
menggunakan suatu surfaktan yang memiliki nilai HLB. Sebelum dilakukan
pencampuran terlebih dahulu dilakukan perhitungan harga HLB dari fase internal
kemudian dilakukan pemilihan emulgator yang memiliki nilai HLB yang sesuai
dengan HLB fase internal. Setelah diperoleh suatu emulgator yang cocok, maka
selanjutnya dilakukan pencampuran untuk memperoleh suatu emulsi yang diharapkan.
Umumnya emulsi akan berbantuk tipe M/A bila nilai HLB emulgator diantara 9 – 12
dan emulsi tipe A/M bila nilai HLB emulgator diantara 3 – 6.
Zat
pengemulsi (emulgator) adalah komponen yang ditambahkan untuk mereduksi
bergabungnya tetesan dispersi dalam fase kontinu sampai batas yang tidak nyata.
Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan
antar tetesan dalam fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik disekeliling
partikel yang akan berkoalesensi, juga mengurangi tegangan antarmuka antar
fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. Penggunaan
emulgator biasanya diperlukan 5% – 20% dari berat fase minyak. (Anief, 2004).
Dalam pemilihan emulgator harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
·
Emulgator harus dapat
campur dengan komponen-komponen lain dalan sediaan.
·
Emulgator tidak boleh
mempengaruhi stabilitas dan efek terapeutik dari obat.
·
Emulgator harus stabil,
tidak boleh terurai dan tidak toksik.
2.3
Stabilitas
Emulsi
Stabilitas suatu emulsi adalah suatu
sifat emulsi untuk mempertahankan distribusi halus dan teratur dari fase
terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. (Voigt. R, 1995).
Faktor yang dapat mempengaruhi
stabilitas emulsi yaitu :
1.
Pengaruh
viskositas
Ukuran partikel yang didistribusi partikel menunjukkan peranannya
dalam menentukan viskositas emulsi. Umumnya emulsi dengan partikel yang makin
halus menunjukkan viskositas yang makin besar dibandingkan dengan emulsi dengan
partikel yang lebih kasar. Jadi, emulsi dengan distribusi partikel yang besar
memperlihatkan viskositas yang kurang. Untuk mendapatkan suatu emulsi yang
stabil atau untuk menaikkan stabilitas suatu emulsi dapat dengan cara
menambahkan zat-zat yang dapat menaikkan viskositasnya dari fase luar. Bila
viskositas fase luar dipertinggi maka akan menghalangi pemisahan emulsi.
2.
Pemakaian
alat khusus dalam mencampur emulsi
Dalam pencampuran emulsi dapat dilakukan dengan mortir secara
manual dan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan tenaga listrik
seperti mixer. Untuk membuat emulsi yang lebih stabil, umumnya proses
pengadukannya dilakukan dengan menggunakan alat listrik. Disamping itu
penggunaan alat dapat mempercepat distribusi fase internal kedalam fase kontinu
dan peluang terbentuknya emulsi yang stabil lebih besar.
3.
Perbandingan
optimum fase internal dengan fase kontinu
Suatu produk emulsi
mempunyai nilai perbandingan fase dalam dan fase luar yang berbeda-beda. Hal
tersebut terjadi karena adanya perbedaan jenis bahan yang digunakan ataupun
karena adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada setiap bahan emulsi yang
digunakan.
Umumnya emulsi yang
stabil memiliki nilai range fase dalam antara 40% sampai 60% dari jumlah
seluruh bahan emulsi yang digunakan.
a.
Terdapat beberapa teori tentang
tidak stabilnya emulsi yaitu :
1. Creaming atau Flokulasi
Adalah
peristiwa terbentuknya dua lapisan emulsi yang memiliki viskositas yang
berbeda, dimana agregat dari bulatannya fase dalam mempunyai kecenderungan yang
lebih besar untuk naik ke permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi tersebut
dengan keadaan yang bersifat reversibel atau dapat didistribusikan kembali
melalui pengocokan. (Ansel, 1989)
2. Inversi
Ialah suatu peristiwa pecahnya emulsi dengan
tiba-tiba dari satu tipe ke tipe yang lain.
3. Cracking atau Koalesensi
Adalah peristiwa pecahnya emulsi karena adanya penggabungan
partikel-partikel kecil fase terdispersi membentuk lapisan atau endapan yang
bersifat irreversibel dimana emulsi tidak dapat terbentuk kembali seperti
semula melalui pengocokan(Anief, 2000).
b.
Pecahnya emulsi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
·
Jika emulsi yang
terjadi belum sempurna lalu diencerkan maka emulsi akan pecah kembali.
·
Pengocokan yang keras
dapat menggabungkan partikel terdispersi sehingga emulsi menjadi pecah.
·
Teknik pembuatan,
misalnya terlalu lama merendam gom dalam minyak.
·
Senyawa organik yang larut
dalam air misalnya eter, ethanol, etil asetat, akan memberikan pengaruh yang
tidak baik terhadap emulsi. Oleh karena itu harus ditambahkan sedikit demi
sedikit diikuti dengan pengadukan.
·
Perubahan pH yang besar.
·
Perubahan temperatur.
·
Emulgator yang berlawanan
misalnya gelatin dan gom.
·
Penambahan garam atau
elektrolit dalam kondisi yang besar.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Simpulan
yang diperoleh dari pembuktian kebenaran kearifan lokal yang dikaji pada
makalah ini adalah bahwa piring porselen yang dimasukkan ke wajan yang berisi
santan pada saat pemasakan santan akan menghindari pecahnya santan yang telah
dimasak, dengan begitu hipotesis yang digunakan diterima. Hal ini telah
dibuktikan dari percobaan secara langsung terhadap pengaruh porselen pada saat
pemasakan santan. Selain membuat santan tidak pecah, penambahan porselen
ternyata memberikan efek santan yang dimasak cepat matang, ini diduga karena
piring porselen dapat mengantarkan panas secara konduksi yang menyebabkan
santan menjadi matang secara merata. Terdapat dua hal yang bermanfaat dari
pembuktian ini yaitu orang yang memasak santan tidak perlu terlalu sering untuk
mengaduk santan yang sedang dimasak sehingga orang tersebut dapat mengerjakan
hal lain, selanjutnya dengan penambahan porselen ke dalam santan dapat
mempersingkat waktu pemanasan sehingga hanya diperlukan waktu yang lebih
singkat dari waktu biasanya
3.2
Saran
·
Pengolahan santan
kelapa semestinya di perhatikan menggunakan peralatan yang lebih efisien,
cepat, dan lebih sehat.
·
Pengolahan santan
kelapa sangat bermanfaat bagi kehidupan sahari-hari khususnya dalam bidang
pangan.
Is the best
ReplyDelete