KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-Nyalah kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Peran Pemerintah
Dalam Ekologi Pembangunan”.
Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Ekologi Pemerintahan dan kami
mencoba untuk memaparkan apa yang telah kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
Kami berharap setelah selesainya
tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan berguna bagi proses
pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan.
Dalam suatu perkataan "tiada
gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan luput dari
kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami buat
masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Ekologi Pemerintahan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami
semoga hasil karya kami bisa bermanfaat untuk semua.
Manado, 11 November 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Peran pemerintah dalam pembangunan telah
menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran Klasik, yang menganut
kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah sebagai sesuatu yang
menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang
disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para penganut aliran neoklasik
bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan
individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi.
Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang
merugikan para konsumen. Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik
sebagai perilaku tidak baik yang harus dihindarkan.
Berbeda dengan
kaum klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah
sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi
persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi
bukan kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang
dikuasai golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang sebagai salah
seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru menganggap
kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan
alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full employment of outputs).
Karena itu
Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk
kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga
meningkatkan daya beli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Sejalan Keynes,
Pigou juga melihat bahwa kebebasan pasar
yang berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan
alokasi sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari
campur tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas
pembangunan akan dibahas selanjutnya.
Peran pemerintah
dalam pembangunan sangat penting, pertama dalam pengadaan dan pengaturan
pemanfaatan barang-barang publik dan proyek 60 proyek pionir. Kedua, sebagai
penjamin terselenggarakannya pembangunan sesuai dengan visi dan visi bangsa.
Ketiga, untuk menghindarkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antara
perusahaan yang besar dengan perusahaan kecil dan menengah.
Peranan dan fungsi
pemerintah tergantung dengan tingkat kemajuan daripada suatu Negara terutama
dalam bidang ekonomis materiil. Peranan pemerintah sebagai unsur pembaharu dan
pendorong suatu pembangunan (development agen) diakui, tetapi caranya bisa
dilakukan melalui pimpinan dan pengaturan dalam Negara, atau dengan kata lain
pemberian suatu kebebasan pada sektor swasta yang cukup besar, ataupun suatu
usaha pembangunan berencana dimana pemerintah memberikan suatu pengarahan serta
mampu melakukan cara-cara tak langsung (dengan menggunakan banyak upaya melalui
mekanisme pasar/harga) untuk merangsang suatu perkembangan kegiatan sosial
ekonomi masyarakat luas.
Peranan pemerintah
dapat juga dilihat dari tiga macam bentuk sebagai berikut. Mula-mula peranan
pemerintah adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam perkembangan.
Bahkan seringkali fungsi penarikan pajak tidak diabdikan bagi kepentingan
rakyat. Ini adalah fungsi pemerintah yang paling tradisional. Lepas campur
tangan pemerintah dalam berbagai kegiatan usaha maka kenyataannya adalah bahwa
fungsi pemerintah makin lama makin banyak juga. Bahkan dalam negara-negara yang
menganut kebebasan dan inisiatif usaha swasta yang besar, telah diketahui dalam
pelaksanaan tugasnya yaitu melayani kepentingan umum, yaitu mengatur,
mendorong, mengkoordinir, bahkan membiayai usaha pihak swasta maupun
daerah-daerah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan historis
Selama Perang
Dunia II, pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan
penting dalam pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang
mengendalikan perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala
kegiatan sosial dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II
usai.
Mudah
dimengerti, karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi
kehidupan, rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi
pemerintah untuk melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab
untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini
membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami
kehancuran besar tidak mampu membangun dirinya sendiri.
Untuk membantu
mereka, dunia internasional, terutama
negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu sepakat untuk melakukan
bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain melalui Marshall Plan yang
diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan bantuan tersebut melibatkan
pemerintah masingmasing negara yang dibantu. Diantara negara-negara yang amat
parah akibat Perang Dunia II adalah negara-negara yang kalah seperti Jepang dan
Jerman, serta negara dan wilayah lain yang diduduki selama peperangan
berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain.
Beriringan
sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk
merdeka. Mula-mula Indonesia pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan
negara-negara baru lain. Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh
kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui
jalan yang sama. Ada negara yang
dipersiapkan untuk kemudian diberikan kemerdekaan oleh para penjajah, ada
negara yang mencapai kemerdekannya melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi
yang ulet.
Negara-negara
yang mendapatkan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata itu antara lain
adalah Indonesia, Aljazair dan Vienam. Bagi negara-negara ini, perjuangan lebih
lanjut untuk menyembuhkan akibat dari PD-II dan perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan itu memerlukan waktu yang cukup panjang dan berat.
Perjuangan itu, semua harus dilakukan oleh pemerintah, tidak mungkin dilakukan
swasta melalui pasar bebas.
Dinegara-negara
berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran
pemerintah menjadi sangat penting karena
beberapa hal:
1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan
pembangunan dan membantu serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam
kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah dapat melakukannya. Bagi
negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia, pembangunan
menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan tingkat
pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan strategi
yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan banyak
masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang.
Pada beberapa
negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut
sehingga ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya
sendiri, seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo
dari Serbia. Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara
penanganan dengan kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan
menimbulkan rasa dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam
keadaan demikian terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya.
2.
Proses pengambilalihan
hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai lembaga ekonomi yang ditinggalkan
penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka melalui perjuangan bersenjata,
pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara darurat. Sebagian dari bisnis yang
ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh kalangan militer yang pada umumnya
tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam bisnis. Lebih-lebih karena
cara pengambilalihan itu dilakukan secara sepihak dan mendadak, tidak ada
informasi tentang kegiatan bisnis yang berlangsung sebelumnya.
3.
Keperluan untuk
melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai industri dan bisnis.
Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak di bidang
pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang
pertanian dan perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing
industri ini tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada
koordinasi satu sama lain.
Di Indonesia,
kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor bahan mentah ke
negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang. Lebih-lebih
setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative advantages dikampanyekan oleh negara-negara industri maju.
Sebagai akibat
dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang terkait, koordinasi ini
lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang sebagai pembinaan, maka
pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian BUMN sebagai koordinator
termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu dilakukan oleh Departemen
Keuangan.
4.
Adanya kecenderungan
untuk melakukan pembangunan berencana
secara terpusat seperti yang
dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang mampu berperan
sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai pembangunannya,
seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di Eropah, dari keadaan
semula sebagai negara pertanian,
mendorong negara-negara yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan
terpusat seperti yang dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang
tersentralisir dimana peran pemerintah pusat menjadi sangat menentukan.
Melalui sistem
perencanaan terpusat itu, negara-negara baru berkembang membangun
infra-struktur, pendidikan dan institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi
penting karena pembangunan itu dibiayai dengan dana yang terbatas yang
diperoleh sebagian besar melalui pinjaman dari negara-negara maju dan
lembaga-lembaga internasional. Dengan sistem perencanaan terpusat diharapkan
penggunaan dana tersebut menjadi lebih efisien dan terarah sesuai dengan
prioritas yang ditetapkan. Melalui perencanaan juga memungkinkan untuk
melakukan sinkronisasi yang komplementer diantara berbagai program pembangunan
dari berbagai sektor dan daerah.
B. Kritik Terhadap Campur Tangan Pemerintah
Sejak tahun
1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu
terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain
diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi
mula-mula dimulai dengan kritik terhadap
teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang
terjadi pada periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus
dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu
adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara
mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang selama
25 tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan
ekonominya.
Karena itu timbul
anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu
untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang
melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses
pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon
Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan
pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan
sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu
muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong
negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara
lain berisi:
1.
liberalisasi
perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan
perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2.
kesamaan perlakuan
antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik
sebanyak mungkin investasi langsung
3.
privatisasi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4.
pasar harus lebih
kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan
atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5.
harus ada perlindungan
terhadap property right, baik disektor
formal maupun sektor informal ( Williamson, 1994: 26 -7); Burki dan Perry,
1998: 7; Lynn, 2003: 63-4) dalam A. Tony Prasetiantono, KOMPAS, Senin, 25
September 2006.
Sementara itu
IMF sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk
memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat
timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara
yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro ekonominya
dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami
tingkat pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh
jadi dapat bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi
memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu
masih tetap dapat mendorong meningkatnya
kesempatan kerja. (Stiglitz, 2003: 27)
C. Peran Institusi dalam Pembangunan
Untuk melihat
peran institusi, persoalan pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran
pemerintah yang sebaiknya dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih
dahulu harus dilihat secara sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada
dilapangan pada waktu sekarang. Pertama, kelompok neoliberal yang menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi
sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah
yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah
pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau
pembangunan ( the best government is the least government). Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur
tangan pemerintah dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara
efisien tanpa melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyek-proyek pionir.
Pada public goods terdapat ketidak mampuan
pasar dalam pengaturan pengadaan dan
distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua
ciri pokok dari barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui
pasar. Pertama, sulit dibedakan antara yang membayar dengan yang tidak
membayar, baik dalam pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan
barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free riders). Kedua,
pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat sendiri-sendiri. Contoh dari public goods ini
adalah keamanan nasional, lampu jalan raya
dan sebagainya.
Demikian juga
dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya tidak mungkin
diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak
ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam
jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah
jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek
percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru.
Di
negara-negara berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang
secara financial tidak menguntungkan
dilihat dari waktu pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi
kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain
sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu.
Baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai
akibat dari keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah
jalan raya terobosan, maka proyek pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung
kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat.
Melihat
pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik dan proyek-proyek
terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum
berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam pembangunan disana
cukup penting.
Aliran ketiga
adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu berfungsi?
Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara langsung atau
boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak lain. Baik
dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan pemerintah
negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan
menggunakan lembaga dan prosedur
tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga
sementara.
Di Indonesia
lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi
hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek
tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia.
Ada pula lembaga ad hoc dalam arti
khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih
dari satu atau serangkaian proyek.
Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai lembaga tidak permanen,
komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu. Fungsinya dialihkan kepad
lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang bersangkutan. Contoh dari
lembaga ad hoc yang demikian adalah
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh
Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang
dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di
Indonesia.
Lembaga
khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga
permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus
yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu
penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi
lembaga itu. Namun yang perlu diingat,
bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu
waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus
itu akan berakhir (policy termination)
atau harus berlanjut (continues)?
Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam
lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah
menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan
sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada
dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan
institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan
struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka
panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah
satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini
tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan
internal dan lingkungan eksternal.
Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan melalui lembaga atau struktur
tertentu (Said Zainal Abidin, 2006: 192-195).
Pengertian
tentang kesesuaian organisasi dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler
tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk
organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan kinerja yang ingin dicapai. Sehubungan dengan
desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan diuraikan dalam tulisan
lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986, Ph.D Dissertation, University of Pittsburgh).
Bentuk
pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan
centralisasi dalam kurun waktu yang berlainan bergerak seperti pendulum, sekali
kekiri kearah centralisasi, lain kali kekanan kearah lebih desentralistik.
Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh pada performance atau kinerja dalam pembangunan.
Desentralisasi
cenderung lebih menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat.
Sementara centralisasi lebih mengarah pada
penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang
majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan yang ada
sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam prosess
penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan daerah
yang mengarah pada disintegrasi bangsa..
Lingkungan dapat
dibedakan atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Masing-masing
lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan
internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value
Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas pendukung. Analisis ini
memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan organisasi. Tugas
pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan
kekuatan yang ada menjadi lebih baik untuk mampu menangani berbagai tugas dan kegiatan yang
makin berkembang.
Sedangkan
analisis lingkungan eksternal menghadapkan kita pada dua jenis sub-lingkungan
eksternal. Yaitu lingkungan eksternal
umum dan lingkungan tantangan
langsung, yang dalam istilah bisnis disebut sebagai lingkungan persaingan (competitive
environment). Analisis ini
memberikan kitan informasi tentang peluang dan tantangan yang akan kita
hadapi
Untuk dapat
mencapai tujuan diperlukan strategi yang selanjutnya membutuhkan organisasi
atau struktur sebagai kendaraann. Struktur ini harus cocok atau sesuai dengan
strategi yang dipilih.
Bentuk
organisasi juga dapat dijelaskan dalam hubungan dengan perubahan keadaan
lingkungan (contingency theories of organizations). Menurut teori ini, tidak
ada satu bentuk organisasi yang paling baik dibandingkan dengan bentuk yang
lain. Semuanya sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Namun, diakui adanya
kecenderungan pada organisasi yang makin rendah terdapat pengaruh yang lebih
besar dari lingkungan. Menurut pandangan ini, efektifitas suatu organisasi
ditentukn oleh kemampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang
bersifat dinamis. Ini tidak berarti bahwa organisasi harus berubah setiap
waktu, tetapi organisasi itu bersifat fleksibel atau lues (G.G. Dess & A.
Miller, 1993).
Bentuk
organisasi juga dipengaruhi oleh tantangan khusus atau persaingan yang
dihadapi. Dalam hal ini organisasi yang baik selalu mempunyai visi, misi dan
filosofi yang jelas. Dengan visi dimaksudkan bahwa sebuah organisasi mempunyai
arah masa depan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam bentuknya, visi lebih
menggambarkan wujud masa depan yang ingin dibentuk dalam jangka panjang, tapi
dalam kurun waktu yang tidak terlalu lamberkaitana. Dalam hal ini visi lebih
merupakan refleksi dari nilai dan keyakinan yang dianut. Sedangkan bentuk misi
menggambarkan tugas pokok atau fungsi asasi dari organisasi. Petani mempunyai
misi bertani, PNS mempunyai misi bekerja melakukan tugas-tugas pelayanan yang
berkaitan fungsi pemerintah dan sebagainya. Sementara filosofi merupakan
keyakinan atau nilai utama yang selalu dipegang teguh organisasi, yang
sekaligus membedakannya dengan organisasi lain.
D. Berlomba dalam Pembangunan
Pada hakekatnya
semua pemerintah/negara dalam proses pembangunan berlomba satu sama lain.
Mereka berlomba antar pemerintahan dalam satu negara dan berlomba dengan
pemerintah dari negara lain (R.H.K.Vietor, 2007). Perlombaan antar pemerintah
dalam satu negara terjadi dalam bentuk perlombaan untuk berbuat lebih baik daripada pemerintah
sebelumnya. Mana yang lebih baik tergantung pada rakyat negara tersebut. Karena
itu terdapat penilaian umum yang bersifat perbandingan antar kinerja dari
sejumlah pimpinan pemerintahan dalam satu periode yang panjang. Contoh dari
keadaan ini dapat dilihat pada pertanyaan-pertanyaan, misalnya, siapa diantara
Gubernur DKI Jakarta yang paling baik pasca Orde Lama sampai sekarang? Siapa
diantara Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang paling berhasil pasca Peristiwa
DII TII di Aceh?
Sementara
perlombaan antar negara biasanya dilakukan dalam perbandingan percepatan
pembangunan antar negara selama periode tertentu dan keberhasilannya
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau keberhasilan dalam menghadapi
permasalahan yang hampir serupa, seperti krisis moneter yang menimpa sebagian
wilayah Asia. Juga dapat dilihat pada motif apa yang melatar belakangi
masing-masing kebijakan? Contoh dari keadaan ini, seperti dituliskan oleh Dr.
Syamsul Hadi adalah perbandingan latar belakang yang berbeda dan strategi
pembangunan yang dipilih masing-masing Kepala Pemerintahan dalam menghadapi
krisis ekonomi antara Mahathir Muhammad di Malaysia dan Suharto di Indonesia
(Syamsul Hadi, 2005: 355 – 372).
Latar belakang
permasalahan yang dihadapi Mahathir adalah perbedaan posisi dan kekuatan
ekonomi antara kelompok Melayu sebagai bumi putera dengan kelompok minoritas
China yang menimbulkan kepekaan sosial sehingga berakibat pada timbulnya
konflik dalam negeri. Bertolak dari trauma yang dihadapi negaranya ini,
Mahathir menempuh strategi affirmatif
dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dikalangan bumi putera
menjadi relatif kurang timpang. Penguasaan asset ekonomi kalangan bumi putera
yang pada tahun 1969 hanya 1,5 % diupayakan menjadi 30 % dalam waktu 20
tahun.
Dengan kekuatan
ekonomi dalam negeri yang kuat itu,
Mahathir merasa mampu menghadapi
krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. karena itu tidak mau menggantungkan diri pada tawaran IMF.
Sementara Suharto, pada tahun 1965
mewarisi krisis ekonomi yang amat parah dari rezim Orde Lama. Inflasi mencapai
puncaknya pada tingkat 650 % pada tahun 1965. Sebagai akibat dari tindakan
Nasionalisasi terhadap modal asing yang dilakukan Sukarno, semua modal asing
lari dari Indonesia. Karena itu, strtategi yangr diambil dalam menghadapi
krisis tersebut adalah mengundang sebanyak-banyaknya modal asing dengan
memberikan berbagai fasilitas dan keistimewaan. Akibatnya, ekonomi Indonesia
menjadi tergantung pada utang dan modal asing. Dengan sistem ekonomi yang
terbuka keadaan ini menjadi sangat rentan terhadap perubahan ekonomi di luar
negeri.
Ketika krisis
moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, Indonesia berpaling pada
nasehat IMF dengan harapan dapat memperoleh bantuan hutang dan kepercayaan
investor asing. Suatu kebijakan yang sangat fatal dan menyebabkan ekonomi
Indonesia tidak mampu keluar dari krisis itu sampai bertahun-tahun kemudian dan
mengakibatkan tumbangnya kekuasaan Suharto. Dilihat dari perspektif perlombaan
itu, Indonesia keteteran karena bergantung pada hutang dan bantuan asing,
sementara Malaysia tangguh dan mampu melaju dengan bertopang atas kekuatan
ekonomi dalam negeri yang telah dibina selama bertahun-tahun.
Perlombaan antar
pemerintah sesungguhnya lebih merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahetraan
rakyatnya dengan meningkatkan pendapatan
dan penurunan tingkat pengangguraan
serta pengendalian inflasi. Karena itu, kekuatan ekonomi dalam negeri
merupakan salah satu prasyarat. Tanpa kekuatan ekonomi dalam negeri tidak
mungkin suatu negara dapat bertahan dalam persaingan di luar negeri.
Daya beli dalam
negeri yang tinggi menjadi kekuatan cadangan yang amat berharga dalam
persaingan di luar negeri. Dengan demikian, pemasaran dalam negeri menjadi
andalan untuk mengembalikan harga pokok, dan pasar luar negeri sekedar menjadi
tempat untuk memperoleh keuntungan. Daya beli dalam negeri yang kuat memperkuat
daya tahan terhadap fluktuasi harga dan krisis harga dipasaran internasional.
Lemahnya daya beli dalam negeri mempertajam kepekaan terhadap fluktuasi dan krisis harga di luar negeri.
Keadaan yang terakhir ini merupakan kondisi yang selalu dialami Indonesia
selama masa yang panjang.
Kebijakan
ekonomi yang lebih mengandalkan pada pasar luar negeri cenderung mengabaikan –
jika tidak disebutkan memperlemah – daya beli dalam negeri. Disilah letak
sumber kelemahan dari berbagai kebijakan pembangunan. Pembangunan harus
ditujukan pada peningkatan kemampuan dalam negeri untuk berproduksi, menyerap
tenaga kerja dan membeli barang-barang yang dihasilkan sendiri. Karena itu
pembangunan ekonomi tidak terlepas dari upaya mempertebal nasionalisme dan
penghargaan terhadap hasil karya bangsa sendiri.
Dapat dipahami,
bahwa dalam persaingan internasional, faktor image pembeli merupakan faktor
penting disamping mutu barang itu sendiri. Dewasa ini sangat dirasakan, bahwa
dikalangan masyarakat Indonesia terdapat image negatif terhadap barang-barang
produksi dalam negeri sendiri. Image
ini tidak saja dapat mendorong
menurunnya permintaan dari konsumen, tetapi juga dapat berkembang pada
dorongan pemerintah untuk memilih alternatif kebijakan yang lebih memberi
fasilitas pada barang-barang import, dengan alasan untuk melindungi konsumen,
ketimbang memanjakan produsen. Bersahutan dengan itu juga terjadi penurunan
kepercayaan diri pada produsen dalam negeri. Hal ini dapat dilihat pada
produsen-produsen sepatu di daerah Cibaduyut, Bandung. Meskipun mutu
produksinya cukup baik, tetapi mereka tidak berani tampil dengan merk sendiri,
takut kalau itu dapat menurunkan selera konsumen untuk membeli. Ini semua
berkaitan dengan nasionalisme
Ketidakpercayaan
diri ini sudah merupakan sebuah masalah nasional di kalangan masyarakat
Indonesia. Merasuk dalam hampir semua sudut kehidupan. Bahkan juga di kalangan
para cendekiawan. Cendekiawan Indonesia lebih cenderung merujuk sesuatu
pendapat dengan menyandarkannya pada kutipan
atau pendapat orang-orang Barat, ketimbang merujuk pada pemikiran bangsa
sendiri, meskipun dalam bidang-bidang tertentu pemikiran bangsa sendiri
sesungguhnya lebih cemerlang dan orisinil. Karena itu, mental kalah yang
demikian perlu mendapat perhatian untuk segera diperbaiki, terutama oleh
kalangan para pendidik dan penguasa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah masa
surut campur tangan pemerintah di Eropah dan Amerika pada penghujung masa
keemasan (masa 25 tahun sesudah PD-II), peran pemerintah kembali berjaya.
Institusi pemerintah merupakan kunci keberhasilan pembangunan dibanyak negara
berkembang. Institusi yang baik adalah institusi yang mampu menampung aspirasi
rakyat, kemudian memperosesnya menjadi kebijakan, melaksanakan dan
mengendalikan serta mengevaluasi hasil akhirnya.
Peran pemerintah
dalam pembangunan sangat penting, pertama dalam pengadaan dan pengaturan
pemanfaatan barang-barang publik dan proyekproyek pionir. Kedua, sebagai penjamin terselenggarakannya pembangunan
sesuai dengan visi dan visi bangsa. Ketiga, untuk menghindarkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat antara perusahaan yang besar dengan perusahaan
kecil dan menengah.
Tiap negara
mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Maka itu pemerintah harus
memanfaartkan kekuatan dan mengatasi kelemahankelemahan yang ada. Munculnya
negara-negara di Asia Timur dengan kemajuan yang mengagumkan membuktikan bahwa
peran pemerintah yang terpadu dengan pihak swasta sangat efektif dalam
pembangunan.
Dalam hal ini
terlihat di negara-negara yang baru berkembang. Sebab pemerintah merupakan
wadah dalam masyarakat yang tergabung dalam unsur-unsur modern dalam masyarakat
yaitu dalam penggunaan alat-alat negara sebagai alat utama dalam mengelola atau
mengadministrasikan usaha-usaha pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Dess,
G. Gregory and A. Miller. 1993. Strategic
Management. New York: McGraw-Hill.
Gillis,
Malcolm, et. al. 1983. Economics
Development. New York: W.W. Nprton & Coy.
Kaplan,
Robert S. And D.P. Norton. 1996. Balanced
Scoredcard, translating strategy in action. Boston, Massachusetta: Harvard
Business School Press. Kim, W.Chan and
Renee Mauborgne. 2005. Blue Ocean
Strategy, How to Creat Uncostested
Market Space and Make the Competition Irrelevant. Boston- Massachusetts.
Syamsul
Hadi. 2005. Strategi Pembangunan, Mahatir
& Soeharto. Jakarta: Japan Foundation.
No comments:
Post a Comment