Wednesday 15 November 2017

MAKALAH PERAN PEMERINTAH DALAM EKOLOGI PEMERINTAHAN



KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Peran Pemerintah Dalam Ekologi Pembangunan”.
            Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Ekologi Pemerintahan dan kami mencoba untuk memaparkan apa yang telah kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
            Kami berharap setelah selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan.
            Dalam suatu perkataan "tiada gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ekologi Pemerintahan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami semoga hasil karya kami bisa bermanfaat untuk semua.



                                                                                         Manado, 11 November 2017


                                                                                                        Penyusun













BAB I
PENDAHULUAN


Peran pemerintah dalam pembangunan telah menjadi objek pembahasan yang menarik sejak lama. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur tangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Penerusnya para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan  regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen. Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak baik yang harus dihindarkan. 
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik itu adalah pandangan yang melihat peran pemerintah sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya, yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full employment of outputs). 
Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat  bahwa kebebasan pasar yang berdasarkan pada maximum keuntungan individu tidak mampu menciptakan alokasi sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum. Bagaimana dampak dari campur tangan pemerintah dalam pembangunan terhadap organisasi dan efektivitas pembangunan akan dibahas selanjutnya.
Peran pemerintah dalam pembangunan sangat penting, pertama dalam pengadaan dan pengaturan pemanfaatan barang-barang publik dan proyek 60 proyek pionir. Kedua, sebagai penjamin terselenggarakannya pembangunan sesuai dengan visi dan visi bangsa. Ketiga, untuk menghindarkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antara perusahaan yang besar dengan perusahaan kecil dan menengah.
Peranan dan fungsi pemerintah tergantung dengan tingkat kemajuan daripada suatu Negara terutama dalam bidang ekonomis materiil. Peranan pemerintah sebagai unsur pembaharu dan pendorong suatu pembangunan (development agen) diakui, tetapi caranya bisa dilakukan melalui pimpinan dan pengaturan dalam Negara, atau dengan kata lain pemberian suatu kebebasan pada sektor swasta yang cukup besar, ataupun suatu usaha pembangunan berencana dimana pemerintah memberikan suatu pengarahan serta mampu melakukan cara-cara tak langsung (dengan menggunakan banyak upaya melalui mekanisme pasar/harga) untuk merangsang suatu perkembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat luas.
Peranan pemerintah dapat juga dilihat dari tiga macam bentuk sebagai berikut. Mula-mula peranan pemerintah adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam perkembangan. Bahkan seringkali fungsi penarikan pajak tidak diabdikan bagi kepentingan rakyat. Ini adalah fungsi pemerintah yang paling tradisional. Lepas campur tangan pemerintah dalam berbagai kegiatan usaha maka kenyataannya adalah bahwa fungsi pemerintah makin lama makin banyak juga. Bahkan dalam negara-negara yang menganut kebebasan dan inisiatif usaha swasta yang besar, telah diketahui dalam pelaksanaan tugasnya yaitu melayani kepentingan umum, yaitu mengatur, mendorong, mengkoordinir, bahkan membiayai usaha pihak swasta maupun daerah-daerah.




BAB II
PEMBAHASAN


A. Munculnya Peran Pemerintah: Tinjauan historis


Selama Perang Dunia II, pemerintah tiap negara terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. 
Mudah dimengerti, karena perang telah merusakkan berbagai sarana dan sendi-sendi kehidupan, rakyat menjadi tidak berkemampuan lagi, ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan rehabilitasi. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kehancuran besar tidak mampu membangun dirinya sendiri. 
Untuk membantu mereka,  dunia internasional, terutama negara-negara kaya pemenang perang pada waktu itu sepakat untuk melakukan bermacam-macam program rehabilitasi, antara lain melalui Marshall Plan yang diseponsori oleh Amerika Serikat. Pengelolaan bantuan tersebut melibatkan pemerintah masingmasing negara yang dibantu. Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain. 
Beriringan sesudah selesainya PD-II, negara-negara jajahan memperoleh kesempatan untuk merdeka. Mula-mula Indonesia pada tahun 1945, berikut sesudah itu India dan negara-negara baru lain. Meskipun negara-negara jajahan itu sama memperoleh kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan  yang sama. Ada negara yang dipersiapkan untuk kemudian diberikan kemerdekaan oleh para penjajah, ada negara yang mencapai kemerdekannya melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi yang ulet.
Negara-negara yang mendapatkan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata itu antara lain adalah Indonesia, Aljazair dan Vienam. Bagi negara-negara ini, perjuangan lebih lanjut untuk menyembuhkan akibat dari PD-II dan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu memerlukan waktu yang cukup panjang dan berat. Perjuangan itu, semua harus dilakukan oleh pemerintah, tidak mungkin dilakukan swasta melalui pasar bebas. 

Dinegara-negara berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah  menjadi sangat penting karena beberapa hal:
 1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tidak semua negara dengan mudah dapat melakukannya. Bagi negara-negara yang masyarakatnya pluralistis seperti Indonesia, pembangunan menghadapi banyak kesulitan. Corak wilayah, keadaan penduduk dan tingkat pembangunan yang berbeda antar daerah menuntut adanya pendekatan dan strategi yang tidak sama. Kelemahan pendekatan sejak awal ini telah menimbulkan banyak masalah yang berlarut-larut selama masa yang panjang.
Pada beberapa negara masalah pembangunan antar daerah ini begitu mendalam dan berlarut sehingga ada daerah yang melakukan pemisahan diri dan menyatakan kemerdekaannya sendiri, seperti Bangladesh dari Pakistan, Eretria dari Ethiopia dan Kosovo dari Serbia. Proses pemisahan yang demikian biasanya dipercepat oleh cara penanganan dengan kekerasan senjata sehingga meruntuhkan rasa persatuan dan menimbulkan rasa dendam yang sulit dijembatani. Tambahan lagi jika dalam keadaan demikian terkait kepentingan negara lain yang ikut membidaninya. 
2.       Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. Bagi negara-negara yang merdeka melalui perjuangan bersenjata, pengambilalihan ini umumnya dilakukan secara darurat. Sebagian dari bisnis yang ditinggalkan itu, biasanya ditangani oleh kalangan militer yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam bisnis. Lebih-lebih karena cara pengambilalihan itu dilakukan secara sepihak dan mendadak, tidak ada informasi tentang kegiatan bisnis yang berlangsung sebelumnya.
3.       Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai industri dan bisnis. Sebagian diantara bisnis yang ditinggalkan tadi bergerak di bidang pertambangan, sebagian yang lain dalam bidang  pertanian dan perkebunan, yang lain lagi di bidang perdagangan. Masing-masing industri ini tunduk di bawah Departemen Teknis yang terkait, tanpa ada koordinasi satu sama lain. 
Di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berorintasi pada ekspor bahan mentah ke negara-negara maju. Orintasi ini susah dilepaskan sampai sekarang. Lebih-lebih setelah methos anti substitusi import dan pentingnya comperative advantages dikampanyekan  oleh negara-negara  industri maju.
Sebagai akibat dari kelemahan ”koordinasi” dari Departemen Teknis yang terkait, koordinasi ini lebih cenderung dirasakan sebagai ”pemerasan” ketimbang sebagai pembinaan, maka pemerintah pada akhirnya membentuk sebuah Kementerian BUMN sebagai koordinator termasuk koordinasi bidang keuangan yang dahulu dilakukan oleh Departemen Keuangan.
4.       Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana   secara  terpusat seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Munculnya Sovyet Rusia dalam PD-II yang mampu berperan sejajar dengan negara-negara yang telah lebih lama memulai pembangunannya, seperti Amerika dan negara-negara industri maju lainnya di Eropah, dari keadaan semula  sebagai negara pertanian, mendorong negara-negara yang baru merdeka untuk mencontoh sistem perencanaan terpusat seperti yang dilakukan Sovyet Rusia itu. Yakni perencanaan yang tersentralisir dimana peran pemerintah pusat menjadi sangat menentukan. 
Melalui sistem perencanaan terpusat itu, negara-negara baru berkembang membangun infra-struktur, pendidikan dan institusi yang dibutuhkan. Perencanaan menjadi penting karena pembangunan itu dibiayai dengan dana yang terbatas yang diperoleh sebagian besar melalui pinjaman dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Dengan sistem perencanaan terpusat diharapkan penggunaan dana tersebut menjadi lebih efisien dan terarah sesuai dengan prioritas yang ditetapkan. Melalui perencanaan juga memungkinkan untuk melakukan sinkronisasi yang komplementer diantara berbagai program pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. 


B. Kritik Terhadap Campur Tangan Pemerintah


Sejak tahun 1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai  dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang selama 25 tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya. 
Karena itu timbul anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan (Ha-Joon Chang, 2003). Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga berhubungan dengan pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan sumberdaya dan paternalistik. 
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara lain berisi:
1.       liberalisasi perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan laranganlarangan lainnya)
2.       kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi langsung
3.       privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke sektor swasta.
4.       pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru
5.       harus ada perlindungan terhadap property right, baik disektor formal maupun sektor informal ( Williamson, 1994: 26 -7); Burki dan Perry, 1998: 7; Lynn, 2003: 63-4) dalam A. Tony Prasetiantono, KOMPAS, Senin, 25 September 2006.
Sementara itu IMF sebagai lembaga internasional mendorong negara-negara berkembang untuk memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara yang mengikuti ”perintah” IMF seperti Argentina yang kondisi makro ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami  tingkat pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang  rendah dengan membatasi pengeluaran. Inflasi memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih tetap dapat mendorong meningkatnya  kesempatan kerja. (Stiglitz, 2003: 27) 


C. Peran Institusi dalam Pembangunan


Untuk melihat peran institusi, persoalan pertama yang perlu dijawab adalah, apa peran pemerintah yang sebaiknya dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dilihat secara sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada dilapangan pada waktu sekarang. Pertama, kelompok neoliberal yang menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan ( the best government is the least government).  Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyek-proyek pionir.
Pada public goods terdapat ketidak mampuan pasar dalam pengaturan  pengadaan dan distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama, sulit dibedakan antara yang membayar dengan yang tidak membayar, baik dalam pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat  sendiri-sendiri. Contoh dari public goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya  dan sebagainya.
Demikian juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya tidak mungkin diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyek-proyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru. 
Di negara-negara  berkembang  terdapat banyak  sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat.  
Melihat pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. 
Aliran ketiga adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism. Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah,   bagaimana pemerintah itu berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan menggunakan  lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga sementara. 
Di Indonesia lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc.  Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia. Ada pula lembaga ad hoc dalam arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu. Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau serangkaian proyek.  Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu. Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di Indonesia. 
Lembaga khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang  mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Namun yang perlu  diingat, bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy termination) atau harus berlanjut (continues)? Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru ? Kalau diubah menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan internal  dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan melalui lembaga atau struktur tertentu (Said Zainal Abidin, 2006: 192-195).
Pengertian tentang kesesuaian organisasi dengan strategi ini diterangkan oleh Chandler tentang organisasi yang centralistis dan organisasi yang desentralistis. Bentuk organisasi tersebut tergantung pada lingkungan dan  kinerja yang ingin dicapai. Sehubungan dengan desentralisasi dan kinerja organisasi dalam pembangunan diuraikan dalam tulisan lain dari penulis (Said Zainal Abidin, 1986, Ph.D Dissertation, University of Pittsburgh). 
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan centralisasi dalam kurun waktu yang berlainan bergerak seperti pendulum, sekali kekiri kearah centralisasi, lain kali kekanan kearah lebih desentralistik. Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh pada performance atau kinerja dalam pembangunan. 
Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara centralisasi lebih mengarah pada    penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja  tidak menggambarkan kenyataan yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidak puasan masyarakat. Bahkan dalam prosess penyelenggaraan pemerintahan cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa.. 
Lingkungan dapat dibedakan atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Masing-masing lingkungan dapat dianalisis dengan cara yang berbeda. Analisis lingkungan internal dapat dilakukan dengan menggunakan Value Chain Model dari Porter, dengan membagi kegiatan internal atas tugas-tugas pokok dan tugas-tugas pendukung. Analisis ini memberikan kita informsi tentang kekuatan dan kelemahan organisasi. Tugas pemerintah selanjutnya adalah, bagaimana memperbaiki  kelemahan menjadi kekuatan dan meningkatkan kekuatan yang ada menjadi lebih baik untuk mampu  menangani berbagai tugas dan kegiatan yang makin berkembang.
Sedangkan analisis lingkungan eksternal menghadapkan kita pada dua jenis sub-lingkungan eksternal. Yaitu lingkungan eksternal umum dan lingkungan tantangan langsung, yang dalam istilah bisnis disebut sebagai lingkungan persaingan (competitive environment). Analisis ini memberikan kitan informasi tentang peluang dan tantangan yang akan kita hadapi 
Untuk dapat mencapai tujuan diperlukan strategi yang selanjutnya membutuhkan organisasi atau struktur sebagai kendaraann. Struktur ini harus cocok atau sesuai dengan strategi yang dipilih.  

Bentuk organisasi juga dapat dijelaskan dalam hubungan dengan perubahan keadaan lingkungan (contingency theories of organizations). Menurut teori ini, tidak ada satu bentuk organisasi yang paling baik dibandingkan dengan bentuk yang lain. Semuanya sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Namun, diakui adanya kecenderungan pada organisasi yang makin rendah terdapat pengaruh yang lebih besar dari lingkungan. Menurut pandangan ini, efektifitas suatu organisasi ditentukn oleh kemampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang bersifat dinamis. Ini tidak berarti bahwa organisasi harus berubah setiap waktu, tetapi organisasi itu bersifat fleksibel atau lues (G.G. Dess & A. Miller, 1993).
Bentuk organisasi juga dipengaruhi oleh tantangan khusus atau persaingan yang dihadapi. Dalam hal ini organisasi yang baik selalu mempunyai visi, misi dan filosofi yang jelas. Dengan visi dimaksudkan bahwa sebuah organisasi mempunyai arah masa depan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam bentuknya, visi lebih menggambarkan wujud masa depan yang ingin dibentuk dalam jangka panjang, tapi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lamberkaitana. Dalam hal ini visi lebih merupakan refleksi dari nilai dan keyakinan yang dianut. Sedangkan bentuk misi menggambarkan tugas pokok atau fungsi asasi dari organisasi. Petani mempunyai misi bertani, PNS mempunyai misi bekerja melakukan tugas-tugas pelayanan yang berkaitan fungsi pemerintah dan sebagainya. Sementara filosofi merupakan keyakinan atau nilai utama yang selalu dipegang teguh organisasi, yang sekaligus membedakannya dengan organisasi lain.


D. Berlomba dalam Pembangunan 


Pada hakekatnya semua pemerintah/negara dalam proses pembangunan berlomba satu sama lain. Mereka berlomba antar pemerintahan dalam satu negara dan berlomba dengan pemerintah dari negara lain (R.H.K.Vietor, 2007). Perlombaan antar pemerintah dalam satu negara terjadi dalam bentuk perlombaan  untuk berbuat lebih baik daripada pemerintah sebelumnya. Mana yang lebih baik tergantung pada rakyat negara tersebut. Karena itu terdapat penilaian umum yang bersifat perbandingan antar kinerja dari sejumlah pimpinan pemerintahan dalam satu periode yang panjang. Contoh dari keadaan ini dapat dilihat pada pertanyaan-pertanyaan, misalnya, siapa diantara Gubernur DKI Jakarta yang paling baik pasca Orde Lama sampai sekarang? Siapa diantara Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang paling berhasil pasca Peristiwa DII TII di Aceh? 
Sementara perlombaan antar negara biasanya dilakukan dalam perbandingan percepatan pembangunan antar negara selama periode tertentu dan keberhasilannya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau keberhasilan dalam menghadapi permasalahan yang hampir serupa, seperti krisis moneter yang menimpa sebagian wilayah Asia. Juga dapat dilihat pada motif apa yang melatar belakangi masing-masing kebijakan? Contoh dari keadaan ini, seperti dituliskan oleh Dr. Syamsul Hadi adalah perbandingan latar belakang yang berbeda dan strategi pembangunan yang dipilih masing-masing Kepala Pemerintahan dalam menghadapi krisis ekonomi antara Mahathir Muhammad di Malaysia dan Suharto di Indonesia (Syamsul Hadi, 2005: 355 – 372). 
Latar belakang permasalahan yang dihadapi Mahathir adalah perbedaan posisi dan kekuatan ekonomi antara kelompok Melayu sebagai bumi putera dengan kelompok minoritas China yang menimbulkan kepekaan sosial sehingga berakibat pada timbulnya konflik dalam negeri. Bertolak dari trauma yang dihadapi negaranya ini, Mahathir menempuh  strategi affirmatif dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dikalangan bumi putera menjadi relatif kurang timpang. Penguasaan asset ekonomi kalangan bumi putera yang pada tahun 1969 hanya 1,5 % diupayakan menjadi 30 % dalam waktu 20 tahun.  
Dengan kekuatan ekonomi dalam negeri yang kuat itu,  Mahathir  merasa mampu menghadapi krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. karena itu tidak mau  menggantungkan diri pada tawaran IMF. Sementara Suharto, pada tahun  1965 mewarisi krisis ekonomi yang amat parah dari rezim Orde Lama. Inflasi mencapai puncaknya pada tingkat 650 % pada tahun 1965. Sebagai akibat dari tindakan Nasionalisasi terhadap modal asing yang dilakukan Sukarno, semua modal asing lari dari Indonesia. Karena itu, strtategi yangr diambil dalam menghadapi krisis tersebut adalah mengundang sebanyak-banyaknya modal asing dengan memberikan berbagai fasilitas dan keistimewaan. Akibatnya, ekonomi Indonesia menjadi tergantung pada utang dan modal asing. Dengan sistem ekonomi yang terbuka keadaan ini menjadi sangat rentan terhadap perubahan ekonomi di luar negeri. 
Ketika krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, Indonesia berpaling pada nasehat IMF dengan harapan dapat memperoleh bantuan hutang dan kepercayaan investor asing. Suatu kebijakan yang sangat fatal dan menyebabkan ekonomi Indonesia tidak mampu keluar dari krisis itu sampai bertahun-tahun kemudian dan mengakibatkan tumbangnya kekuasaan Suharto. Dilihat dari perspektif perlombaan itu, Indonesia keteteran karena bergantung pada hutang dan bantuan asing, sementara Malaysia tangguh dan mampu melaju dengan bertopang atas kekuatan ekonomi dalam negeri yang telah dibina selama bertahun-tahun.
Perlombaan antar pemerintah sesungguhnya lebih merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahetraan rakyatnya  dengan meningkatkan pendapatan dan penurunan tingkat pengangguraan  serta pengendalian inflasi. Karena itu, kekuatan ekonomi dalam negeri merupakan salah satu prasyarat. Tanpa kekuatan ekonomi dalam negeri tidak mungkin suatu negara dapat bertahan dalam persaingan di luar negeri.  
Daya beli dalam negeri yang tinggi menjadi kekuatan cadangan yang amat berharga dalam persaingan di luar negeri. Dengan demikian, pemasaran dalam negeri menjadi andalan untuk mengembalikan harga pokok, dan pasar luar negeri sekedar menjadi tempat untuk memperoleh keuntungan. Daya beli dalam negeri yang kuat memperkuat daya tahan terhadap fluktuasi harga dan krisis harga dipasaran internasional. Lemahnya daya beli dalam negeri mempertajam kepekaan terhadap  fluktuasi dan krisis harga di luar negeri. Keadaan yang terakhir ini merupakan kondisi yang selalu dialami Indonesia selama masa yang panjang. 
Kebijakan ekonomi yang lebih mengandalkan pada pasar luar negeri cenderung mengabaikan – jika tidak disebutkan memperlemah – daya beli dalam negeri. Disilah letak sumber kelemahan dari berbagai kebijakan pembangunan. Pembangunan harus ditujukan pada peningkatan kemampuan dalam negeri untuk berproduksi, menyerap tenaga kerja dan membeli barang-barang yang dihasilkan sendiri. Karena itu pembangunan ekonomi tidak terlepas dari upaya mempertebal nasionalisme dan penghargaan terhadap hasil karya bangsa sendiri.
Dapat dipahami, bahwa dalam persaingan internasional, faktor image pembeli merupakan faktor penting disamping mutu barang itu sendiri. Dewasa ini sangat dirasakan, bahwa dikalangan masyarakat Indonesia terdapat image negatif terhadap barang-barang produksi dalam negeri sendiri. Image ini tidak saja dapat mendorong  menurunnya permintaan dari konsumen, tetapi juga dapat berkembang pada dorongan pemerintah untuk memilih alternatif kebijakan yang lebih memberi fasilitas pada barang-barang import, dengan alasan untuk melindungi konsumen, ketimbang memanjakan produsen. Bersahutan dengan itu juga terjadi penurunan kepercayaan diri pada produsen dalam negeri. Hal ini dapat dilihat pada produsen-produsen sepatu di daerah Cibaduyut, Bandung. Meskipun mutu produksinya cukup baik, tetapi mereka tidak berani tampil dengan merk sendiri, takut kalau itu dapat menurunkan selera konsumen untuk membeli. Ini semua berkaitan dengan nasionalisme 
Ketidakpercayaan diri ini sudah merupakan sebuah masalah nasional di kalangan masyarakat Indonesia. Merasuk dalam hampir semua sudut kehidupan. Bahkan juga di kalangan para cendekiawan. Cendekiawan Indonesia lebih cenderung merujuk sesuatu pendapat dengan menyandarkannya pada  kutipan atau pendapat orang-orang Barat, ketimbang merujuk pada pemikiran bangsa sendiri, meskipun dalam bidang-bidang tertentu pemikiran bangsa sendiri sesungguhnya lebih cemerlang dan orisinil. Karena itu, mental kalah yang demikian perlu mendapat perhatian untuk segera diperbaiki, terutama oleh kalangan para pendidik dan penguasa.

BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN



Setelah masa surut campur tangan pemerintah di Eropah dan Amerika pada penghujung masa keemasan (masa 25 tahun sesudah PD-II), peran pemerintah kembali berjaya. Institusi pemerintah merupakan kunci keberhasilan pembangunan dibanyak negara berkembang. Institusi yang baik adalah institusi yang mampu menampung aspirasi rakyat, kemudian memperosesnya menjadi kebijakan, melaksanakan dan mengendalikan serta mengevaluasi hasil akhirnya.
Peran pemerintah dalam pembangunan sangat penting, pertama dalam pengadaan dan pengaturan pemanfaatan barang-barang publik dan proyekproyek pionir. Kedua, sebagai  penjamin terselenggarakannya pembangunan sesuai dengan visi dan visi bangsa. Ketiga, untuk menghindarkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antara perusahaan yang besar dengan perusahaan kecil dan menengah. 
Tiap negara mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Maka itu pemerintah harus memanfaartkan kekuatan dan mengatasi kelemahankelemahan yang ada. Munculnya negara-negara di Asia Timur dengan kemajuan yang mengagumkan membuktikan bahwa peran pemerintah yang terpadu dengan pihak swasta sangat efektif dalam pembangunan.
Dalam hal ini terlihat di negara-negara yang baru berkembang. Sebab pemerintah merupakan wadah dalam masyarakat yang tergabung dalam unsur-unsur modern dalam masyarakat yaitu dalam penggunaan alat-alat negara sebagai alat utama dalam mengelola atau mengadministrasikan usaha-usaha pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA



Dess, G. Gregory and A. Miller. 1993. Strategic Management. New York:  McGraw-Hill.
Gillis, Malcolm, et. al. 1983. Economics Development. New York: W.W.   Nprton & Coy. 
Kaplan, Robert S. And D.P. Norton. 1996. Balanced Scoredcard, translating strategy in action. Boston, Massachusetta: Harvard Business School Press.  Kim, W.Chan and Renee Mauborgne. 2005. Blue Ocean Strategy, How to Creat Uncostested Market Space and Make the Competition Irrelevant. Boston- Massachusetts.
Syamsul Hadi. 2005. Strategi Pembangunan, Mahatir & Soeharto. Jakarta: Japan Foundation. 


                         



No comments:

Post a Comment

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

  MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN XENOBIOTIK   Disusun oleh : 1.      ONA TAMAELA (18101101051) 2.      PRAYOGI KIYATO (181011010...