BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Birokrasi
dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama
lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki
karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter
yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang
yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak
dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.
Menurut
Etzioni-Havely (dalam Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis
pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum.
Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang
berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi
juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan
kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi
menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan
institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki
oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan,
dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang
berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.
Sementara
birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya,
namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor
yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap
gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik.
Dalam
berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi politik -sebagaimana diketahui
bersama- terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan
secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk
mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh
karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu
berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan
rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan birokrasi?
2. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum
adanya reformasi birokrasi?
3. Bagaimana sejarah lahirnya reformasi
birokrasi di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta
hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah
ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari
reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan
secara efektif.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Birokrasi
Birokrasi
berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk
pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu
kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi.
Dalam
konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”.
Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public
administration. Secara etimologi birokrasi dalam kamus besar bahasa Indonesia
adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah
berpegang pada hirarki dan jabatan.
2.2. Pengertian Reformasi
Reformasi
secara umum berarti perubahan pada suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.
Di Indonesia kata reformasi umumnya merajuk pada gerakan mahasiswa pada tahun
1998. Pengertian reformasi secara harfiah dari kata reform atau reformation artinya membentuk kembali sesuai dengan
hakikinya. Namun secara fungsiaonal pemahamannya adalah membentuk kembali
kearah perbaikan, kemajuan dan pembaharuan dan penyampurnaan.
2.3. Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi
birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi kearah
perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi
pemerintah yaitu pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta
efisien dan efektif.
2.4.
Birokrasi
Birokrasi
secara harfiah berasal dari kata yaitu bereau yang artinya meja tulis dan cracy
artinya orang-orang yang berada di meja tersebut. Untuk memberikan penjelasan
mengenai birokrasi secara mendalam dan komperatif menurut para ahli yang
dikutip dari Priyo Budi Sutanto (1993) yaitu sebagai berikut;
1. Yahya mahaimin (1980)
“
Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah,sipil maupun militer yang
melakukan tugas menbantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah dari
statusnya itu ”
2. Almond dan Powel (1966)
“
Birokrasi adalah suatu bentuk perkumpulan secara formal mengorganisir kantor
dan tugas dalam mata rantai subordinas untuk melakukan perannya secara formal
dalam pembuatan keputusan”
3. Lance Castles (1976)
“
Birokrasi sebagai orang-orang yang di gaji menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan termasuk didalamnya adalah pejabat tentara dan birokrasi
pemerintahan ”
4. La Polambra (1967)
“Pengertian
birokrasi digambarkan para suvervisor dalam mengemban tugas-tugas organisasi
dengan kemampuan dan kapasitasnya untuk melayani publik ”
5. M.Mas’ud Said (2007)
“
Birokrasi adalah sistem administrasi pelaksanaan dilakukan dengan aturan
tertulis,dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bangian yang lain,
oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian dibidangnya ”
Dengan demikian pandangan diatas
dalam memberikan pengertian birokrasi lebih menekankan sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam
melakukan kegiatan organisasi secara sistematis dan dengan keterturan yang
sudah dibakukan kedalam sistem operasi prosedur (SOP) didukung sumberdaya
manusia yang dipersyaratkan kemampuan dan keahliannya. Birokrasi tidak bisa
lepas dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia, semenjak manusia itu melakukan
aktivitas yang berhubumgan dengan manusia laindalam memenuhi kebutuhan tersebut
tidak terlepas hubungannya dengan birokrasi
2.5. Ciri-ciri Birokrasi
Birokrasi
di Indonesia sejak jaman orde baru dan era reformasi memiliki ciri aliran
birokrasi gaya Max Weber yang di tandai dengan hal berikut ini :
1. Tingkat spesialisasi yang tinggi.
2. Struktur kewenangan hirarki dengan
batas-batas kewenangan yang jelas.
3. Hubungan antara anggota organisasi yang
tidak bersifat pribadi.
4. Rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan
teknis.
5. Diferensi antara pendapatan yang resmi
dan pribadi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Konsep Birokrasi
Pengertian
Birokrasi Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu
biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua
elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal
dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang
bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan
prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi
berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada
1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan
cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam
Hariyoso, 2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
a. Birokrasi dapat diartikan sebagai kelompok
pranata atau lembaga tertentu.
b. Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda
untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.
c. “Kebiroan” atau mutu yang membedakan antara
birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
d. Kelompok orang yang digaji yang berfungsi
dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)
Birokrasi
Ideal Menurut Weber
Max
Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting
yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model
birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy,
2003):
a. Pembagian
Kerja (division of labour)
b. Adanya
prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
c. Adanya
sistem aturan (system of rules)
d. Hubungan
Impersonal (formalistic impersonality)
e. Sistem
Karier (career system)
3.2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi
a. Faktor budaya
1. Budaya
dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang
“pelicin”)
2. Budaya
“sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat
3. Masyarakat harus menanggung biaya ganda karena
zero sum game
4. Internalisasi
budaya dalam mekanisme informal yang profesional
b. Faktor individu
1. Perilaku
individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
2. Perilaku
individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki
jabatan dan otoritas
3. Perilaku
opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
4. Individu
yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
c.
Faktor organisasi dan manajemen
1. Meliputi
struktur, proses, leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan
masyarakat
2. Struktur
birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi
3. Proses
Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip
efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan
4. Birokrasi
juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel
5. Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi
oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai, dan kompetensi yang
rendah.
6. Hubungan
masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan
partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen charter)
d. Faktor politik
1. Ketidaksetaraan
sistem birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum
2. Birokrasi
menjadi “Geld Automaten” bagi partai politik
3. Kooptasi
pengangkatan jabatan birokrasi oleh partai politik
3.3.
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi
di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan
Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk
pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang
tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang
merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai
pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari
model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang
di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak
efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan
ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti
:
a. Maraknya
tindak KKN
b. Tingginya
keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
c. Pelayanan
publik yang diskriminatif
d. Penyalahgunaan
wewenang
e. Pengaburan
antara pejabat karir dan non-karir
3.4.Sejarah
Reformasi Birokasi di Indonesia
Reformasi
politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika
politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan
reformasi birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan
signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat
nyata dari reformasi politik 1998.
Pasca
reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh
politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat
terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun
1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil
(PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun
1974.
Saat
membentuk yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan
tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut
adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu
juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama
dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.
Kemudian
ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut
bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak
sipil warga negara.
Penghapusan
dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah
debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan
mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.
Aturan
induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan
Pemerintah 1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam
pemerintahan Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar,
yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non
karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan
terlaksana. Hingga pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara
riil dengan pembentukan UU.
3.5.Reformasi
Birokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Orde Baru
Jatuhnya Pemerintahan Soeharto ternyata
diikuti dengan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi
public. Krisis kepercayaan terhadap birokrasi public ditandai dengan
mengalirnya protes dan demokrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat
terhadap birokrasi public baik ditingkat pusat maupun daerah.
Reformasi birokrasi yang terjadi
jatuhnya rezim Orde baru ternyata tidak mampu menghasilkan kehidupan yang
berarti bagi masyarakat indonesia. Keberhasilan Indonesia untuk
menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis dan membentuk rezim
pemerintahan yang barubelum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.
Harapan masyarakat bahwa rezim pemerintahan yang baru mampu memerangi KKN dan
membentuk pemerintahan yang bersih masih jauh dari realitas. Praktek KKN dalam
pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung, dan bahkan skala dan
pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan
public yang efisien, responsive, dan akuntabel masih amat jauh dari realitas.
Masuknya orang-orang baru dalam
pemerintahan, baik di lwgislative maupun eksekutif, juga tidak mampu
menciptakan perbaikan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Banyak diantara
mereka terperangkap dalam lumput KKN dan ikut memperburuk birokrasi public.
3.6. Reformasi Birokrasi Indonesia
Birokrasi
adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah
berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada
bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali
mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan
mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena (birokratisme)
yang merugikan masyarakat.
Birokrasi
bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam
bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian
kecenserungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan
yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini.
Reformasi
adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik dari pada yang sudah
ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya
masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam
pengertian ini perubahan masyarakat di arahkan pada development (Susanto, 180).
Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan
masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya.
Dengan demikian Maka perubahan
masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya
perubahan masyarakat barkait erat denagn kemajuan masyarakat. Dilihat dari
aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antar
tuntutan ekonomi, politik,sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prnsip dalam masyarakat (Susanto
185-18)
Reformasi telah menjadi suatu kata yang
mengelinding dan menjadi semangat gerak langkah anak bangsa untuk membuka
kutub-kutub kekuasaan yang selama ini tidak tersentuh. Ia telah menjadi bagian yang
sangat penting dalam usaha bangsa untuk merumuskan kembali seluruh tatanan
nilai dan aturan hidup bersama. Mungkin tidak ada lagi hari tanpa tuntutan
reformasi yang dilakukan oleh seluruh kalangan, kelompok masyarakat, mahasiswa,
pegawai kantor yang menggemakan beragam tuntutan reformasi total disegala
bidang.
Reformasi dapat diterjemahkan selagi
perubahan radilkal (bidang sosial,politik atau agama) disuatu masyarakat atau
negara. Sedangkan reformasi adalah orang yang menganjurkan adanya perbaikan
(bidang politik, sosial, agama) tanpa kekerasan. Radikal berarti secara
menyeluru, habis-habisan, perubahan yang amat keras menuntut perubahan
(undang-undang,pemerintahan dan sebagainya) Maju dalam befikir dan bertindak.
Selain itu, radikalisme adalah faham atau aliran yang radikal dalam politik,
faham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara keras atau
drastis, sikap ekstrim disuatu aliran politik.
Indahnya lautan reformasi dengan
segudang syair-syairnya hanya menjadi sebuah nyanyian pengantar tidur, padahal
semangat utamanya adalah ingin mengadakan perubahan besar-besaran dalam
berbagai sendi-sendi kehidupan agar mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa
ini menjadi sebuah bangsa yang bersih dan berwibawa, bangsa yang mampu hidup bukan
dengan mengandalkan utang-utang luar negeri yang semakin mencekik. Namun
harapan ini menjadi sebuah mimpi ketika reformasi tidak mampu menciptakan iklim
yang kondusif dengan memupuk aparatur-aparatur birokrasi baik eksekutif maupun
legislatif yang bermental buruk, golongan sehingga bukan perubahan menuju
perbaikan justru perubahan yang menuju kehancuran.
Strategi Pembangunan nasional yang
masih saja bertumpuk pada pertumbuhan ekonomi, industri padat modal, sistem
konglomerasi dan utang luar negeri adalah beberapa indikasi adanya hegemoni
neoliberalisme pada tataran pemerintah pusat. Selain itu sejak zaman orde Baru
sampai sekarang komitmen pemerintah terhadap wawasan kesejahteraan masyarakat
belum banyak mengalami kemajuan yang berarti.
Pada masa orde reformasi dan orde
sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan
diagendakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No. 8 tahun 2003
tentang restrukturisasi organisasi pemerintah darerah dengan konsep
MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas jelas adalah untuk
rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas
aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi
birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan
kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Pada era globalisasi,
aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis
dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia
sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi.
Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan
demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan
oleh departemen keuangan.
4.2. Saran
Untuk
memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara
lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan
demikian, proses reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya
legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk
membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke
better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat
lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good
governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan
korupsi.
No comments:
Post a Comment