Sunday 4 November 2018

MAKALA REVORMASI BIROKRASI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.

Menurut Etzioni-Havely (dalam Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.

Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik.

Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap  mengikuti kaidah demokrasi yang normatif.


Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik,  institusi politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan birokrasi?
2.      Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
3.      Bagaimana sejarah lahirnya reformasi birokrasi di Indonesia?

1.3.  Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.   Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi.
Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration. Secara etimologi birokrasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jabatan.

2.2.   Pengertian Reformasi
Reformasi secara umum berarti perubahan pada suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia kata reformasi umumnya merajuk pada gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Pengertian reformasi secara harfiah dari kata reform atau reformation  artinya membentuk kembali sesuai dengan hakikinya. Namun secara fungsiaonal pemahamannya adalah membentuk kembali kearah perbaikan, kemajuan dan pembaharuan dan penyampurnaan.

2.3.   Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi kearah perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi pemerintah yaitu pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta efisien dan efektif.

2.4. Birokrasi
Birokrasi secara harfiah berasal dari kata yaitu bereau yang artinya meja tulis dan cracy artinya orang-orang yang berada di meja tersebut. Untuk memberikan penjelasan mengenai birokrasi secara mendalam dan komperatif menurut para ahli yang dikutip dari Priyo Budi Sutanto (1993) yaitu sebagai berikut;

1.      Yahya mahaimin (1980)
“ Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah,sipil maupun militer yang melakukan tugas menbantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah dari statusnya itu ”
2.      Almond dan Powel (1966)
“ Birokrasi adalah suatu bentuk perkumpulan secara formal mengorganisir kantor dan tugas dalam mata rantai subordinas untuk melakukan perannya secara formal dalam pembuatan keputusan”
3.      Lance Castles (1976)
“ Birokrasi sebagai orang-orang yang di gaji menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan termasuk didalamnya adalah pejabat tentara dan birokrasi pemerintahan ”
4.      La Polambra (1967)
“Pengertian birokrasi digambarkan para suvervisor dalam mengemban tugas-tugas organisasi dengan kemampuan dan kapasitasnya untuk melayani publik ”
5.      M.Mas’ud Said (2007)
“ Birokrasi adalah sistem administrasi pelaksanaan dilakukan dengan aturan tertulis,dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bangian yang lain, oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian dibidangnya ”

          Dengan demikian pandangan diatas dalam memberikan pengertian birokrasi lebih menekankan  sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam melakukan kegiatan organisasi secara sistematis dan dengan keterturan yang sudah dibakukan kedalam sistem operasi prosedur (SOP) didukung sumberdaya manusia yang dipersyaratkan kemampuan dan keahliannya. Birokrasi tidak bisa lepas dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia, semenjak manusia itu melakukan aktivitas yang berhubumgan dengan manusia laindalam memenuhi kebutuhan tersebut tidak terlepas hubungannya dengan birokrasi

2.5.  Ciri-ciri Birokrasi

Birokrasi di Indonesia sejak jaman orde baru dan era reformasi memiliki ciri aliran birokrasi gaya Max Weber yang di tandai dengan hal berikut ini :
1.      Tingkat spesialisasi yang tinggi.
2.      Struktur kewenangan hirarki dengan batas-batas kewenangan yang jelas.
3.      Hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi.
4.      Rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis.
5.      Diferensi antara pendapatan yang resmi dan pribadi.

BAB III
PEMBAHASAN


3.1. Konsep Birokrasi

Pengertian Birokrasi Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
a.        Birokrasi dapat diartikan sebagai kelompok pranata atau lembaga tertentu.
b.       Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.
c.        “Kebiroan” atau mutu yang membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
d.       Kelompok orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)

Birokrasi Ideal Menurut Weber
Max Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):

a.       Pembagian Kerja (division of labour)
b.      Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
c.       Adanya sistem aturan (system of rules)
d.      Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
e.       Sistem Karier (career system)

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi

a.       Faktor budaya
1.      Budaya dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
2.      Budaya “sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat
3.       Masyarakat harus menanggung biaya ganda karena zero sum game
4.      Internalisasi budaya dalam mekanisme informal yang profesional

b.      Faktor individu
1.      Perilaku individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
2.      Perilaku individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas
3.      Perilaku opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
4.      Individu yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat

c. Faktor organisasi dan manajemen

1.      Meliputi struktur, proses, leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat
2.      Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi
3.      Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan
4.      Birokrasi juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel
5.       Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai, dan kompetensi yang rendah.
6.      Hubungan masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen charter)

d.      Faktor politik

1.      Ketidaksetaraan sistem birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum
2.      Birokrasi menjadi “Geld Automaten” bagi partai politik
3.      Kooptasi pengangkatan jabatan birokrasi oleh partai politik

3.3. Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
a.       Maraknya tindak KKN
b.      Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal
c.       Pelayanan publik yang diskriminatif
d.      Penyalahgunaan wewenang
e.       Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

3.4.Sejarah Reformasi Birokasi di Indonesia

Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi politik 1998.
Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Saat membentuk yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.

Kemudian ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara.

Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah 1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana. Hingga pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara riil dengan pembentukan UU.
3.5.Reformasi Birokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Orde Baru
Jatuhnya Pemerintahan Soeharto ternyata diikuti dengan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi public. Krisis kepercayaan terhadap birokrasi public ditandai dengan mengalirnya protes dan demokrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi public baik ditingkat pusat maupun daerah.
Reformasi birokrasi yang terjadi jatuhnya rezim Orde baru ternyata tidak mampu menghasilkan kehidupan yang berarti bagi masyarakat indonesia. Keberhasilan Indonesia untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis dan membentuk rezim pemerintahan yang barubelum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis. Harapan masyarakat bahwa rezim pemerintahan yang baru mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih masih jauh dari realitas. Praktek KKN dalam pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung, dan bahkan skala dan pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive, dan akuntabel masih amat jauh dari realitas.
Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di lwgislative maupun eksekutif, juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Banyak diantara mereka terperangkap dalam lumput KKN dan ikut memperburuk birokrasi public.
3.6.  Reformasi Birokrasi Indonesia

Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena (birokratisme) yang merugikan masyarakat.

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenserungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini.

Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik dari pada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat di arahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya.
Dengan demikian Maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat barkait erat denagn kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antar tuntutan ekonomi, politik,sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prnsip dalam masyarakat (Susanto 185-18)

Reformasi telah menjadi suatu kata yang mengelinding dan menjadi semangat gerak langkah anak bangsa untuk membuka kutub-kutub kekuasaan yang selama ini tidak tersentuh. Ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam usaha bangsa untuk merumuskan kembali seluruh tatanan nilai dan aturan hidup bersama. Mungkin tidak ada lagi hari tanpa tuntutan reformasi yang dilakukan oleh seluruh kalangan, kelompok masyarakat, mahasiswa, pegawai kantor yang menggemakan beragam tuntutan reformasi total disegala bidang.
Reformasi dapat diterjemahkan selagi perubahan radilkal (bidang sosial,politik atau agama) disuatu masyarakat atau negara. Sedangkan reformasi adalah orang yang menganjurkan adanya perbaikan (bidang politik, sosial, agama) tanpa kekerasan. Radikal berarti secara menyeluru, habis-habisan, perubahan yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang,pemerintahan dan sebagainya) Maju dalam befikir dan bertindak. Selain itu, radikalisme adalah faham atau aliran yang radikal dalam politik, faham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis, sikap ekstrim disuatu aliran politik.
            Indahnya lautan reformasi dengan segudang syair-syairnya hanya menjadi sebuah nyanyian pengantar tidur, padahal semangat utamanya adalah ingin mengadakan perubahan besar-besaran dalam berbagai sendi-sendi kehidupan agar mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang bersih dan berwibawa, bangsa yang mampu hidup bukan dengan mengandalkan utang-utang luar negeri yang semakin mencekik. Namun harapan ini menjadi sebuah mimpi ketika reformasi tidak mampu menciptakan iklim yang kondusif dengan memupuk aparatur-aparatur birokrasi baik eksekutif maupun legislatif yang bermental buruk, golongan sehingga bukan perubahan menuju perbaikan justru perubahan yang menuju kehancuran.
            Strategi Pembangunan nasional yang masih saja bertumpuk pada pertumbuhan ekonomi, industri padat modal, sistem konglomerasi dan utang luar negeri adalah beberapa indikasi adanya hegemoni neoliberalisme pada tataran pemerintah pusat. Selain itu sejak zaman orde Baru sampai sekarang komitmen pemerintah terhadap wawasan kesejahteraan masyarakat belum banyak mengalami kemajuan yang berarti.
            Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No. 8 tahun 2003 tentang restrukturisasi  organisasi pemerintah darerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh departemen keuangan.

4.2.   Saran

Untuk memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.






No comments:

Post a Comment

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

  MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN XENOBIOTIK   Disusun oleh : 1.      ONA TAMAELA (18101101051) 2.      PRAYOGI KIYATO (181011010...